PESAN SEGERA

Dengan 50rb dapatkan : 1 ASKEP atau, 2 SAP+2Leaflet, atau 2 Artikel, atau 3 Askep Persentation dan Terima Pesanan

Sunday, April 20, 2014

Brosur Hipertensi Heart Failure

DUNIA KEPERAWATAN | 10:27 PM | Be the first to comment!

BROSUR HIPERTENSI HEART FAILURE

 





Read more ...

Brosur Diet Makan

DUNIA KEPERAWATAN | 10:10 PM | Be the first to comment!

BROSUR DIET MAKAN

 



Read more ...

Thursday, April 17, 2014

Obat Herbal Sakit Pinggang Daun Alpukat dan Jus Mengkudu

DUNIA KEPERAWATAN | 11:36 PM | Be the first to comment!
OBAT HERBAL SAKIT PINGGANG DAUN ALPUKAT dan JUS MENGKUDU







Read more ...

Obat Trdisional Jus Mengkudu Untuk Sakit Pinggang

DUNIA KEPERAWATAN | 11:23 PM | Be the first to comment!
JUS MENGKUDU


OBATI SAKIT PINGGANG



Jus yang terbuat dari buah mengkudu sudah banyak dipasarkan di sini dengan berbagai macam merk. Kandungan kalium yang tinggi pada buah mengkudu umumnya disertai khasiat diuretik, sehingga kalium didalam darah selalu normal. Pada penderita gagal ginjal kronik yang produksi urinnya sudah sangat sedikit, kalium tidak bisa dikeluarkan melalui urine. Akibatnya kalium darah meninggi dan menyebabkan gangguan irama jantung.



Read more ...

Obat Herbal Daun Alpukat Untuk Sakit Pinggang

DUNIA KEPERAWATAN | 11:16 PM | Be the first to comment!
DAUN ALPUKAT
         

SEMBUHKAN SAKIT PINGGANG



Ada cara untuk mengatasi sakit pinggang yaitu
dengan cara :


Ambil 10 lembar daun alpukat yang tidak terlalu tua, juga tidak terlalu muda. Rebus dengan 2 gelas air (kira-kira 500 ml), lalu biarkan sampai air menyusut menjadi setengah gelas. angkat, dinginkan, lalu diminum. Lakukan hal ini selama 10 hari, biasanya sakit akan hilang.


Read more ...

Wednesday, April 16, 2014

Effect Of Ergonomic Gymnastics With Music Therapy To The Decrease Of Elderly Peoplesblood Pressure

DUNIA KEPERAWATAN | 7:11 PM | 1 Comment so far
Program Studi S1 Keperawatan
STIKes Dharma Husada Bandung
2014


ABSTRCT
NurAzizah

EFFECT OF ERGONOMIC GYMNASTICS WITH MUSIC THERAPY TO THE DECREASE OF ELDERLY PEOPLESBLOOD PRESSURE AT BPSTW CIPARAY BANDUNG IN 2014.

xiii+79 page+8 table+2 scheme+1attachment

Indonesia to stay in line 10 state with prevalence highest hipertension in the world. Base result RISKESDAS 2007, 31,7% to endure hipertension. In BPSTW Ciparay 54% to endure hipertension. Blood pressure increases along with the increase of age. High blood pressure could be intervented with non-pharmacology treatment, such as ergonomic gymnastics with music therapy.This research is to determine the effect of ergonomic gymnastics with music therapy to the decrease of elderly peoples blood pressure at BPSTW Ciparay Bandung.This research is a quasi experiment with a non randomized pretest-posttest with control group design.Samples are collected by purposive sampling with 12 samples of treatment group dan 12 samples of control group. Data is analyzed with Wilcoxon statistic assay. The results showed that there is an effect of ergonomic gymnastic with music therapy to the decrease of blood pressure based on the statistic analyzes with  p value sistolic 0,004<0,05. The mean value of treatment group sistolic blood pressure decrease was 10,42 mmHg and control group was 4,16 mmHg. Meanwhile the mean value of treatment group diastolic blood pressure was 5,41 mmHg and control group was 3,33 mmHg. Ergonomic gymnastics with music therapy should be decrease norepinefrin degree, increase circulation, O2 optimum in body, until relaxe the brain and blood pressure decrease. This research in order to propagateergonomic gymnastics with music therapy should be considered as a daily routine for the elderly to decrease blood pressure in POSBIDU or elderly peoples house.

Keywords        : Hipertension, Elderly, Ergonomic Gymnastic, Music Therapy
References       : 35 literature (2001-2013)


Read more ...

Pengaruh Senam Ergonomik Dengan Terapi Musik Terhadap Penurunan Tekanan Darah

DUNIA KEPERAWATAN | 7:05 PM | Be the first to comment!
Program Studi S1 Keperawatan
STIKes Dharma Husada Bandung
2014


ABSTRAK
NurAzizah

PENGARUH SENAM ERGONOMIK DENGAN TERAPI MUSIK TERHADAP PENURUNAN TEKANAN DARAH PADA LANSIA DI BALAI PERLINDUNGAN SOSIAL TRESNA WERDHA (BPSTW) CIPARAY BANDUNG TAHUN 2014

xiii+79 halaman+8 tabel+2 skema+15 lampiran

Indonesia berada dalam deretan 10 negara dengan prevalensi hipertensi tertinggi di dunia. Berdasarkan hasil RISKESDAS tahun 2007, 31,7% menderita hipertensi. Penderita hipertensi di BPSTW Ciparay mencapai 54%. Sejalan dengan bertambah manusia, tekanan darah seseorangakan meningkat. Tekanan darah tinggi dapat diintervensi dengan terapi non farmakologi, salah satunya dengan senam ergonomic dan terapi musik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh senam ergonomic dengan terapi music terhadap penurunan tekanan darah pada lansia di Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha (BPSTW) Ciparay Bandung. Desain penelitian ini quasi experiment dengan non randomized pretest-posttest with control group design. Metode pengambilan sampel adalah purposive sampling dengan jumlah sampel 12 kelompok perlakuan dan 12 kelompok kontrol. Analisa data dalam penelitian ini menggunakan uji statistic Wilcoxon. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh senam ergonomic dengan terapi music terhadap penurunan tekanan darah dengan p value0,004 < 0,05. Nilai rata-rata penurunan tekanan darah sistolik kelompok perlakuan 10,42 mmHg dan kelompok kontrol 4,16 mmHg, serta nilai rata-rata penurunan tekanan darah diastolic kelompok perlakuan 5,41 mmHg dan kelompok kontrol 3,33 mmHg. Senam ergonomic dengan terapi music mampu menurunkan kadar norepinefrin, meningkatkan sirkulasi, asupan O2 dalam tubuh optimal, sehingga otak menjadi rileks dan tekanan darah menjadi turun. Penelitian ini menyarankan agar senam ergonomic dengan terapi music dapat dijadikan kegiatan rutin bagi lansia untuk menurunkan tekanan darah di POSBINDU atau panti lansia.

Kata Kunci      : Hipertensi, Lansia, Senam Ergonomik, Terapi Musik
Kepustakaan   : 35 literatur (2001-2013)



Read more ...

Askep Angina Pectoris Ppt

DUNIA KEPERAWATAN | 7:40 AM | Be the first to comment!
ASKEP ANGINA PECTORIS PERSENTATION






Read more ...

Perawatan Angina Pectoris Ppt

DUNIA KEPERAWATAN | 7:33 AM | Be the first to comment!
PERAWATAN ANGINA PERSENTATION




Read more ...

Askep Gangguan Refraksi Pptx

DUNIA KEPERAWATAN | 7:06 AM | Be the first to comment!
ASKEP GANGGUAN REFRAKSI PERSENTATION





Read more ...

Askep Gangguan Refraksi

DUNIA KEPERAWATAN | 6:40 AM | Be the first to comment!
MAKALAH KESEHATAN
GANGGUAN REFRAKSI

Program Studi Strata - 1 Keperawatan Non Reguler



Disusun oleh :
HATAKE KAPEVI



PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN NON REGULER
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
RAJAWALI BANDUNG
2014






BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Kelainan refraksi merupakan kelainan pembiasan sinar pada mata sehingga pembiasansinar tidak difokuskan pada retina (bintik kuning). Untuk memasukkan sinar atau bayangan benda ke mata diperlukan suatu sistem optik. Diketahui bahwa bola mata mempunyai panjang kira-kira 2.0 cm. Untuk memfokuskan sinar ke retina diperlukan kekuatan 50.0 dioptri. Lensa berkekuatan 50.0 dioptri mempunyai titik api pada titik 2.0 cm (Ilyas, 2006).
Pada mata yang tidak memerlukan alat bantu penglihatan (biasa disebut mata normal)   terdapat 2 sistem yang membiaskan sinar yang menghasilkan kekuatan 50.0 dioptri.    Kornea mata mempunyai kekuatan 80% atau 40 dioptri dan lensa mata berkekuatan 20% atau 10 dioptri (Ilyas, 2006).
Menurut Ilyas (2006) kelainan refraksi adalah keadaan dimana bayangan tegas tidak dibentuk pada retina. Pada kelainan refraksi terjadi ketidakseimbangan sistem optic pada mata sehingga menghasilkan bayangan yang kabur. Pada mata normal kornea dan lensa membelokkan sinar pada titik fokus yang tepat pada sentral retina.
Pada kelainan refraksi, sinar tidak dibiaskan tepat pada retina, akan tetapi dapat di depan atau di belakang retina dan mungkin tidak terletak pada satu titik yang tajam. Kelainan refraksi dikenal dalam bentuk miopia, hipermetropia, dan astigmatisme.

B.     Tujuan
Berdasarkan latar belakang diatas, kami dapat mengambil tujuan sebagai berikut :
1.            Menjelaskan pengertian refraksi mata.
2.            Menjelaskan klasifikasi refraksi mata.
3.            Menjelaskan etiologi refraksi mata.
4.            Menjelaskan patofisiologi refraksi mata.
5.            Menjelaskan manifestasi klinis klien yang mengalami refraksi mata.
6.            Menjelaskan komplikasi refraksi mata.
7.            Menjelaskan pemeriksaan penunjang refraksi mata.
8.            Menjelaskan penatalaksanaan refraksi mata.
9.            Menjelaskan asuhan keperawatan pada klien dengan refraksi mata.




BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian
Gangguan refraksi mata adalah pembiasan sinar oleh media penglihatan yang terdiri dari kornea, cairan mata, lensa, badan kara atau panjang  bola mata, sehingga bayangan benda dibiaskan tidak tepat di biaskan di daerah macula lutea tanpa bantuan akomodasi , keadaan ini disebut Ametropia (Mansjoer, A : 1999)
Gangguan refraksi mata adalah penyimpangan cahaya yang lewat secara miring dari suatau medium ke medium lain yang berbeda densitasnya. Penyimpangan tersebut terjadi pada permukaan pembatas kedua medium tersebut yang dikenal sebagai permukaan refraksi (Dorland, 1996).
Gangguan refraksi mata adalah suatau keadaan dimana penglihatan terganggu  karena terlalu pendek  atau terlalu panjang bola mata sehingga mencegah cahaya terfokus dengan jelas pada retina (Timby, Scherer dan Smith, 2000).

B.       Klasifikasi
Klasifikasi kelainan refleks menurut Timby, Scherer dan Smith, E. (2000) ada 2 yaitu :
1.        Ametropia
Ametropia (mata dengan kelainan refraksi) berasal dari bahasa Yunani; ametros, yang berarti tidak seimbang/sebanding, dan opsis, adalah penglihatan. Jadi ametropia adalah suatu keadaan mata dengan kelainan refraksi dimana   mata yang dalam keadaan tanpa akomodasi atau istirahat memberikan bayangan sinar sejajar pada fokus yang tidak terletak pada retina. Ametropia dibedakan menjadi 4 yaitu:
a.            Ametropi oksial: Ametropia yang terjadi akibat sumbu optik bola mata lebih panjang atau pendek.
b.            Ametropia refraktif: Ametropia akibat kelainan system pembiasan sinar di dalam mata.
c.            Ametropia kurvatur: Ametropia akibat kelengkungan kornea atau lensa yang tidak normal.
d.           Ametropia indeks: Ametropia karena indeks bias abnormal di dalam mata.
Ametropia dapat ditemukan empat bentuk kelainan yaitu :
a.       Myopia
Myopia adalah mata denga daya lensa positif yang lebih kuat sehingga sinar yang sejajar atau datang dari tak terhingga di fokuskan di depan retina. Myopia dibedakan berdasarkan :
1)        Menurut bentuknya myopia dibedakan menjadi 2 yaitu :
a)             Myopia refraktif
Bertambahnya indeks bias media penglihatan seperti yang terjadi pada katarak intumesen dimana lensa menjadi lebih cembung sehingga pembiasan lebih kuat.
b)            Myopia aksial
Myopia akibat panjanganya sumbu bola mata, dengan kelengkungan lenssa mata dan kornea yang normal.
2)        Menurut derajat beratnya myopia dibedakan dalam :
a)             Myopia ringan dimana myopia kecil dari pada 1 – 3 dioptri.
b)             Myopia sedang dimana myopia lebih dari antara 3 – 6 dioptri.
c)             Myopia berat atau tinggi dimana myopia lebih besar dari 6 dioptri.
3)        Menurut perjalanan myopia dikenal bentuk :
a)            Myopia stasioner, myopia yang menetap setelah dewasa.
b)            Myopia progresif, myopia yang bertambah terus menerus pada usia dewasa akibat bertambah panjangnya bola mata.
c)            Myopia maligna atau degeneratif, myopia yang dapat mengakibatkan ablasi retina dan kebutaan atau sama dengan myopia pernisiosa ditemukan pada semua umur dan terjadi sejak lahir.
b.      Hipermetropi
Merupakan keadaan gangguan kekuatan pembiasan mata dimana sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titim fokusnya terletak dibelakang retina, hipermetropi dikenal dalam bentuk :
1)            Hipermetropi manifestasi
Ialah hipermetropi yang dapat dikoreksi dengan kaca mata positif maksimal yang memberikan tajam penglihatan yang normal.
2)            Hipermetropi laten
Ialah dimana kelainan hipermetropi tanpa sikloplegia (atau dengan obat yang melemahkan akomodasi) diimbangi seluruhnya dengan akomodasi.
3)            Hipermetropi total
Hipermetropi yang ukuranya didapatkan sesudah diberikan sikloplegia (obat tetes mata, biasanya diberikan pada anak, pemberian diberikan selama 3 hari untuk mengetahui kelainan refraksi ).
c.       Afakia
Adalah suatau keadaan dimana mata tidak mempunyai lensa sehingga mata tersebut menjadi hipermetropi tinggi. 
d.      Astigmatisme
Adalah kelainan kelengkungan kornea mata. Astigmatisme dikenal dalam bentuk:
1)            Astigmatisme reguler
Adalah Astigmatisme yang memperlihatkan kekuatan pembiasan bertambah atau berkurang perlahan – lahan secara terataur dari satau meredian ke meredian berikutnya.
2)            Astigmatisme irreguler
Adalah astigmatisme yang terjadi tidak mempunyai 2 meredian yang tegak lurus.
2.        Presbiopi
Adalah gangguan akomodasi pada usia lanjut yang dpat terjadi akibat kelemahan otot akomodasi, lensa meta tidak kenyal atau berkurang elastisitasnya akibat sclerosis lensa.

C.      Etiologi
Penyebab kelainan refraksi menurut Timby, Scherer dan smith. (2000) yaitu :
1.        Myopia
a.            Sumbu optik bola mata lebih panjang.
b.            Pembiasan media penglihatan kornea lensa yang terlalu kuat.
2.        Hipermetropi
a.              Bola mata pendek atau sumbu anteropasterior yang pendek.
b.             Kelengkungan kornea atau lensa kurang.
c.              Indeks bias kurang pada sistem optik mata.
3.        Afakia
Tidak adanya lensa mata.
4.        Astigmatisme
a.              Kelainan kelengkungan permukaan kornea.
b.             Kelainan pembiasan pada miridian lensa yang berbeda.
c.              Infeksi kornea.
d.             Truma distrofi.
5.        Presbiopi
a.            Kelemahan otot akomodasi.
b.            Lensa mata tidak kenyal atau berkurangnya elastisitas akibat sklerosis lensa.

D.      Patofisiologi
Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang terdiri atas kornea, cairan mata, lensa, badan kaca dan panjangnya bola mata. Pada orangn normal susunan pembiasan oleh media penglihatan dan panjangnya bola mata demikian seimbang sehingga bayangan mata dibiaskan tepat di macula lutea. Mata normal disebut emetropia mata dengan kelainan refraksi mengakibatkan sinar normal tidak dapat terfokus pada macula. Hal ini disebabkan oleh kornea yang terlalu mendatar atau mencembung, bola mata lebih panjang atau pendek lensa berubah kecembungannyaatau tidak ada lensa mengakibatkan Ametropi dan bila di akibatkan oleh elastisitas lensa yang kurang atau kelemahan otot akomodasi mengakibatkan presbiopi.
Pada Ametropi apabila bola mata lebih panjang pembiasan kornea berlebihan atau lensa yang terlalu kuat mengakibatkan pembiasan terlalu kuat sehingga fokus terletak didepan retina dan penderita mengalami rabun jauh ( myopia )sebaliknya bila bola mata terlalu pendek, indeks bias kurangatau kelengkungan kornea atau lensa kurang maka pembiasan tidak cukup sehingga fokus dibelakang retina dan mengakibatkan rabun dekat ( hipermetropi ). Hipermetropi tinggi terjadi akibat mata tidak memiliki lensa ( Afakia ) apabila terjadi kelainan kelengkungan kornea, infeksi kornea, distrofi atau pembiasan lensa berbeda maka akan mengakibatkan bayangan ireguler (Astigmatisme).
Pada presbiopi elastisitas lensa yang berkurang atau kelemahan otot akomodasi mengakibatkan daya akomodasi berkurang, sehingga lensa kurang mencembung dan pembiasan kurang kuat. Untuk melihat mata berakomodasi terus menerus sehingga terjadi ketegangan otot siliar yang mengakibatkan mata lelah, dan mata berair jika menekan kelenjar air mata.
Pada ametropi akomodasi juga dilakukan terus menerus agar mata dapat melihat. Hal ini mengakibatkan mata lelah atau sakit, mata esotropia atau mata juling ke dalam dan strabismus karena bola mata bersama – sama konvergensi, serta glaucoma sekunder karena hipertrofi otot siliar pada badan siliar mempersempit sudut bilik mata.
Rabun jauh atau myopia yang berjalan progresif akan mengakibatkan kebutaan dan hiperplasi pigmen epitei dan perdarahan, kebutaan dapat terjadi karena digenari macula dan retina perifer mengakibatkan atrofi lapis sensori retina dan degennerasi saraf optik. Hiperplasi pigmen epitel dan perdarahan terjadi karena neovaskularisasi sub retina akibat ruptur membran bruch (Ilyas  : 1998).

E.       Manifestasi Klinis
1.            Myopia
a.            Melihat jelas bila dekat dan melihat jauh kabur (rabun jauh ).
b.            Sakit kepala sering disertai juling.
c.            Celah kelopak yang sempit.
d.           Astemopia konvergensi.
e.            Myopik kresen yaitu: gambaran bulan sabit yang terlihat pada polos posterior fundus matamyopia yang terdapat pada daerah pupil saraf optik akibat tidak tertutupnya sklera oleh koroid.
f.             Degenerasi macula dan retina bagian perifer.
2.            Hipermetropi
a.              Penglihatan dekat dan jauh kabur.
b.             Sakit kepala.
c.              Silau
d.             Diplopia atau penglihatan ganda.
e.              Mata mudah lelah.
f.              Sakit mata.
g.             Astenopia akomodatif.
h.             Ambiopia
i.               Kelelahan setelah membaca.
j.               Mata terasa pedas dan tertekan.
3.            Afakia
a.              Benda yang dilihat menjadi lebih besar 25% dibandingm ukuran sebenarnya.
b.             Terdapat efek prisma lensa tebal sehingga benda terlihat seperti melengkung.
c.              Bagian yang jelas terlihat hanya bagian sentral sedangkan penglihatan tepi kabur.
4.            Astigmatisme
a.              Penurunan ketajaman mata baik jarak dekat maupun jauh.
b.             Tidak teraturnya lekukan kornea.
5.            Presbiopi
a.              Kelelahan mata.
b.             Mata berair.
c.              Sering terasa pedas pada mata.

F.       Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi pada kelainan refraksi menurut Ilyas, Tamzil, Salamun dan Ashar (1981) yaitu :
1.        Strabismus.
2.        Juling atau esotropia.
3.        Perdarahan badan kaca.
4.        Ablasi retina.
5.        Glaukoma sekunder.
6.        Kebutaan

G.      Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang menurut Mansjoer (1999) :
1.          Pemeriksaan ketajaman penglihatan.
Dilakukan di kamar yang tidak terlalu terang dengan kartu snellen caranya :
a.            Pasien duduk dengan jarak 6 meter dari kartu snellen dengan mata tertutup satu
b.            Pasien diminta membaca huruf yang terdapat pada kartu, mulai dari yang paling atas ke bawah dan  tentukan baris terakhir yang bisa di baca seluruhnya dengan benar.
c.            Bila pasien tidak dapat membaca baris paling atas ( terbesar ) maka dilakukan uji hitung dengan uji hitung jarak 6m.
d.           Jika pasien tidak dapat menghitung jarak dari 6 m, maka jarak dapat dikurangi 1 m sampai jarak maksimal penguji dengan pasien 1m.
e.            Jika pasien tetap tidak dapat melihat, dilakukan uji lambaian tangan dari jarak 1 m.
f.             Jika pasien tetap tidak dapat melihat lambaian tangan dilakukan uji dengan arah sinar.
g.            Jika penglihatan sama sekali tidak mengenal adanya sinarmaka dikatakan penglihatannya adalah 0 ( nol ) buta total.
Penilaian :
a.            Tajam penglihatan adalah 6/6 berarti pasien dapat membaca seluruh hurup dalam kartu snellen dengan benar.
b.            Bila baris yang dibaca seluruhnya bertanda 30 maka dikatakan tajam penglihatan 6/30, berarti dia hanya bisa melihat pada jarak 6m yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada jarak 30m.
c.            Bila dalam uji hitung pasien hganya dapat melihat atau menentukan dari jumlah jari yang diperlihatkan pada jarak 3m maka dinyatakan tajam penglihatan 3/60. jari terpisah dapat terlihat orang normal pada jarak 60m.
d.           Orang normal dapat melihat gerakan atau lambaian tangan pada jarak 300m bila mata hanya dapat melihat lambaian tangan pada jarak 1m berarti tajam penglihatan adalah 1/300.
e.            Bila mata hanya mengenal adanya sinar saja, tidak dapat melihat lambaian tangan maka dikatakan sebagai 1/~ orang normal dapat melihat cahaya pada jarak yang tak terhingga.
2.            Pemeriksaan kelainan refraksi.
Dilakukan pada satu mata secara bergantian, biasanya dimulai dengan mata kanan kemudian mata kiri, dilakukan setelah tajam pemeriksaan diperiksa dan diketahui adanya kelainan refraksi.
Caranya :
a.            Pasien duduk dengan jarak 6m dari kartu snellen.
b.            Satu mata dututup dengan mata yang terbuka pasien diminta membaca baris yang terkecil yang masih dapat dibaca.
c.            Pada mata yang terbuka diletakan lensa + 0,50 untuk menghilangkan akomodasi pada saat pemeriksaan.
d.           Kemudian diletakan lensa positif tambahan, dikaji :
1)            Bila penglihatan tidak bertambah baik berarti pasien tidak hipermetropi.
2)            Bila bertambah jelas dan dengan kekuatan lensa yang ditambah secara perlahah  - lahan bertambah baik berarti pasien mengalami hipermetropi, lensa positif terkuat yang masih memberikan ketajaman terbaik merupakan ukuran lensa koreksi untuk mata hipermetropia tersebut.
e.            Bila penglihatan tidak bertambah baik maka diletakan lensa negatif, bila menjadi lebih jelas bearti pasien mengalami myopia. Ukuran lensa koreksi adalah lensa negatif teingan yang memberikan ketajaman penglihatan maksimal.
f.             Bila baik dengan lensa positif maupun negatif penglihatan tidak bertambah baik  atau tidak maksimal (penglihatan tidak mencapai 6/6 ) maka akan dilakukan ujipinhole. Letakan pinhole didepan mata yang sedang diuji dan meminta membaca baris terakhir yang masih dapat dilihat atau dibaca sebelumnya bila :
1)             Pinhole tidak memberikan perbaikan berarti mata tidak dapat dikoreksi lebih lanjut karena media penglihatan keruh terdapat kelainan pada retina atau syaraf optik.
2)             Terjadi perbaikan penglihatan, berarti terdapat astigmatisma atau silinder pada mata tersebut yang belum mendapat koreksi.
g.            Bila pasien astigmatisma maka pada mata tersebut di pasang lensa potsitif untuk membuat pasien menderita kelainan refraksi astigmatismus miopikus.
h.            Pasien diminta melihat kartu kipas astigma dan ditanya garis yang paling jelas terlihat pada kartu  kipas astigma.
i.              Bila perbedaan tidak terlihat lensa positf diperlemah secara perlahan  - lahan hingga pasien melihat garis yang paling jelas dan kabur.
j.              Dipasang lensa silinder negatif dengan sumbu yang sesuai dengan garis terkabur pada kipas astigma.
k.            Lensa silinder negatif diperkuat sedikit demi sedikit  pada sumbu tersebut sehingga sama jelasnya dengan garis lainya.
l.              Bila sudah sampai jelasnya dilakukan tes kartu snellen kembali.
m.          Bila tidak didapatkan hasil 6/6 maka mungkin lensa positif yang diberikan terlalu berat harus dikurangi perlahan – lahan atau ditambah lensa negatif perlahan-lahan sampai tajam penglihatan menjadi 6/6. derajat astigmat adalah ukuran lensa silinder negatif yang dipakai sehingga gambar kipas astigmat terlihat sama jelas.
3.            Pemeriksaan presbiopia.
Untuk lanjut usia dengan keluhan membaca dilanjutkan dengan pemeriksaan presbiopia caranya :
a.            Dilakukan penilaian tajam penglihatan dan dilakukan koreksi kelainan refraksi bila terdapat myopia hipermetropia, atau astigmatisma sesuai prosedur diatas.
b.            Pasien diminta membaca kartu pada jarak 30 – 40 cm.
c.            Diberikan lensa positif mulai +1 dinaikan perlahan 2x sampai terbaca  huruf terkecil pada kartu baca dekat dan kekuatan lensa ini ditentukan.
d.           Dilakukan pemeriksaan mata satu persatu. 

H.      Penatalaksanaan
Penatalaksanaan refraksi menurut Satino, Ariani dan Lestari (2000).
1.            Non bedah.
Gangguan refraksi harus diperbaiki agar cahaya adapat terfokus pada retina. Perbaikan ini dapat menggunakan sebuah lensa. jenis lensa yang digunakan tergantung dari jenis kelainan refraksi.
a.            Myopia menggunakan lensa konkaf atau negatif.
b.            Hipermetropia menggunakan lensa konveks atau positif.
c.            Presbiopia dapat menggunakan lensa konveks tetapi jika pasien tidak dapat melihat jarak jauh, menggunakan lensa konkaf konveks atau lensa ganda.
d.           Astigmatisma menggunakan lensa silinder.
Lensa tersebut dapat digunakan dengan menggunakan kaca mata atau lensa kontak.
1)            Kaca mata.
Keuntungan :
a)            Mudah dugunakan
b)            Harganya lebih murah dan tahan lama.
Kerugian :
a)            Perubahan penampilan fisik
b)            Beratnya frame pada hidung dan penurunan penglihatan periperal karena penglihatan dapat menjadi baik jika pasien melihat melalui pusat lensa.
2)            Contact lense atau lensa kontak.
Merupakan diskus atau cakram bulat dari plastik yang di design untuk mengistirahatkan kornea mata dan dipasang dibawah mata. Contak lense dipasang sesuai dengan ukuran, bentuk kornea dan kekuatan refraksi atau pembiasan yang diinginkan.
Kerugian :
a)            Sulit dalam perawatan.
b)            Harga lebih mahal.
c)            Ada jangka waktu pemakaian ( tidak tahan lama ).
Keuntungan :
a)            Model lebih simple.
b)            Tidak menimbulkan gangguan penampilan peran.
c)            Bisa berfungsi sebagai estetika.
2.            Bedah
Pembedahan dapat mejadi alternatif tindakan untuk kelainan refraksi. Radial keratotomy merupakan tindakan bedah untuk mengatasi myopia sedang 8 – 16 insisi diagonal dibuat melalui 90% pada periperal kornea. contac cornea tidak di insisi sehingga penglihatan tidak dipengaruhi insisi pada kornea yang mana menurunkan panjang antereposterior mata dan membantu gambaran terfokus pada retina. Komplikasi pada pembedahan ini diantaranya luka atau scar pada kornea jika insisi terlalu dalam dan kegagalan untuk mencapai kecukupan perbaikan jika insisi terlalu dangkal.
3.            Prosedur bedah
Prosedur bedah yang lain yang dapat dilakukan untuk memperbaikai kelainan refraksi yaitu epikeratophakia pembedahan dari donor jaringan kornea untuk klien kita yang mengalami kelainan refraksi akan tetapi dalam hal ini jaringan donor yang digunakan untuk prosedur ini tidak semua pasien dapat menerima transplantasi korne dari donor.




ASUHAN KEPERAWATAN
PASIEN DENGAN GANGGUAN REFRAKSI

A.              Pengkajian
1.            Wawancara
Menurut Burnner dan Suddath (2000), informasi yang perlu didapatkan pada wawancara adalah sebagai berikut :
a.            Menanyakan kepada psien tentang sejarah penyebab  dan waktu mulai terjadinya gangguan penglihatan tersebut. Pasien dengan diabetik mokular edema misalnya tipe tertentu mempunyai ketajaman penglihatan naik turun. Pasien dengan mokular degenerasi mempunyai pusat masalah ketajaman.
b.            Menyanyakan kepada pasien sehubungan dengan kerusakan lapang periperal dimana pada kondisi ini pasien akan lebih kesulitan saat mobilisasi sehingga ketergantungan aktifitas hidup sehari – hari (Medication Segmen) menjadi sebuah kebiasaan (seperti merokok).
c.            Mengkaji tentang penerimaan dari keterbatasan fisik melalui penggunaan fisual harus diidentifikasi pula mengenai pengharapan realistic darlowvition. 
2.            Data dasar pengkajian pasien.
a.            Aktifitas istirahat.
Gejala : perubahan aktifitas berhubungan dengan penglihatan lelah bila membaca.
b.            Neurosensori.
Gejala : gangguan penglihatan kabur atau tidak jelas , sinar terang yang menyebabkan silau.
Tanda : bilik mata dalam, pupil lebar.
c.            Nyeri atau kenyamanan
Gejala : Nyeri pada mata dan sekitar mata, sakit kepala, pusing
3.            Pemeriksaan fisik
a.            Celah kelopak mata sempit
b.            Gambaran bulan sabit pada polos posterior fundus mata.
c.            Tidak teraturnya lekukan kornea.
d.           Mata berair.
e.            Juling

B.               Diagnosa Keperawatan
1.         Gangguan persepsi sensori penglihatan berhubungan dengan adanya perubahan penerimaan sensor.
2.         Nyeri akut berhubungan dengan adanya agen cidera biologi.
3.         Resiko tinggi cidera berhubungan dengan hilangnya keseimbangan.

C.              Intervensi
Diagnosa 1 : Gangguan persepsi sensori penglihatan berhubungan dengan adanya perubahan penerimaan sensor
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan stimulus penglihatan  yang diterima dapatsesuai dengan kenyataanya dengan kriteria hasil :
1.            Pasien mampu mengidentifikasi diri sendiri.
2.            Pasien mampu mengidentifikasi orang lain.
3.            Pasien mampu mengidentifikasi tempat saat ini.
4.            Pasien mampu mengidentifikasi hari, bulan, tahun, dan musim yang benar.
Intervensi :
1.             Beri bantuan dalam pembelajaran dan penerimaan metode alternatif untuk menjalani hidup dengan kurangnya  fungsi penglihatan.
2.             Manipulasi lingkungan sekitar pasien senyaman mungkin.
3.             Tingkatkan penglihatan pasien yang masih tersisa dengan mengoptimalkan pencahayaan.
4.             Jangan memindahkan barang – barang di dalam kamar pasien untuk mempermudah pasien menemukan barang yang dibutuhkan.
5.             Pastikan akses ke dan penggunaan alat bantu sensori seperti alat bantu dengar dan kacamata.


Diagnosa 2 : Nyeri akut berhubungan dengan adanya agen cidera biologi.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x 24 jam diharapkan pasien mampu mengotrol nyeri dengan kriteria hasil :
1.            Pasien mengetahui penyebab dari nyerinya.
2.            Pasien dapat mendeteksi dengan segera adanya serangan nyeri.
3.            Pasien dapat mengurangi nyeri dengan tanpa menggunakan obat –obatan anti nyeri.
4.            Pasien dapat menggunakan obat – obatan anti nyeri sesuai resep yang dianjurkan.
5.            Pasien melaporkan nyeri terkontrol.
Intervensi :
1.              Observasi karakteristik nyeri (penyebabnya, kualitasnya, skalanya, waktu terjadinya, arealnya dan frekuensinya)
2.              Kontrol kondisi lingkungan agar tercipta lingkungan yang nyaman (suhu udara, kebisingan, kepadatan jumlah pengunjung)
3.              Dorong pasien untuk dapat mengontrol nyerinya sendiri saat nyeri menyerang dan menentukan tindakan yang tepat.
4.              Dorong pasien untuk banyak beristirahat guna mengurangi nyeri.
5.              Kolaborasi dengan medis untuk pemberian obat – obatan anti nyeri.



Diagnosa 3 : Resiko tinggi cidera berhubungan dengan hilangnya keseimbangan.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x 24 jam diharapkan pasien dapat mengontrol factor cidera kare keterbatasan penglihatanya dengan kriteria hasil :
1.            Pasien mampu mendeteksi penyebab dari kerusakan penglihatanya.
2.            Pasien mampu menggunakanalat bantu penglihatan
3.            Pasien mampu menggunakan obat –obatan untuk mata.
4.            Pasien mampu memonitor penyebab terjadinya cidera yang ada di lingkunganya.
5.            Pasien mampu melakukan aktifitas dengan lancar dengan bantuan cahaya yang adekuat.
Intervensi :
1.            Identifikasi resiko yang meningkatkan kerentanan terhadap cidera.
2.            Hindari kegiatan yang menyebabkan cidera fisik.
3.            Pantau faktor resiko perilaku pribadi dan lingkungan.
4.            Mengembangkan dan mengikuti strategi pengendalian resiko.
5.            Mengubah gaya hidup untuk mengurangi resiko injuri.





BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Gangguan refraksi mata adalah penyimpangan cahaya yang lewat secara miring dari suatau medium ke mediuGm lain yang berbeda densitasnya. Penyimpangan tersebut terjadi pada permukaan pembatas kedua medium tersebut yang dikenal sebagai permukaan refraksi (Dorland, 1996; 1591 ). Terdapat 2 gangguan refraksi mata yaitu ametropia dan presbiopi. Ametropia dibagi lagi menjadi 4 macam yaitu, miopi, hipermetropi, afakia, dan astigmatisme. Etiologi dan manifestasi klinis dari gangguan refraksi mata tergantung dari jenis refrakasi mata itu sendiri.
Adapun komplikasi dari gangguan refraksi mata antara lain Strabismus, Juling atau esotropia, perdarahan badan kaca, ablasi retina, glaukoma sekunder, kebutaanTerdapat 3 penatalaksanaan untuk pasien dengan gangguan refraksi mata yaitu non bedah, bedah dan prosedur bedah.







DAFTAR PUSTAKA

Brunner Suddarth. 2000. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. EGC. Jakarta.
Carpenito, Lynda Jual. 2007. Rencana Asuhan dan Pendokumentasian Keperawatan. Alih Bahasa Monika Ester. Edisi 2. EGC. Jakarta.
Dorland. 1996. Kamus Kedokteran. EGC. Jakarta.
Doenges, Marilyn E. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan. Ed. 3. EGC. Jakarta.
lyas S, Hifema. 2006. Ilmu Penyakit Mata. Edisi Ketiga. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
Ilyas,Sidarta. Muzakkir Tanzil. Salamun. Zainal Azhar. 2003. Sari Ilmu Penyakit Mata. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta
Makalah Gangguan Refraksi. 2013. http://aanborneo.blogspot.com/2013/04/-makalah-gangguan-refraksi-mata_21.html. Accessed 11 April 2014.
Mansjoer, Arif. Dkk (1999 dan 2000). Kapita Selekta Kedokteran Jilid I dan II, Fakultas Kedokteran UI : Media Aescullapius. Jakarta.
Timby, Scherer, Smith. 1999. Introductory Medical Surgical Nursing. Ed ke-7. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.


Read more ...
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Search